Kamis, 15 Januari 2009

PENGAMPUNAN

Hari Paskah

=

Hari Pengampunan


Merayakan Paskah berarti merayakan pengampunan yang telah Tuhan berikan kepada kita. KematianNya memperlihatkan kepada kita betapa Ia melunasi hutang dosa-dosa kita yang sesungguhnya tidak mampu kita lunaskan. Tuhan Yesus tidak pernah meminta kita membalas pengorbanannya, karena memang bukan itu tujuan pengorbananNya. Ia melakukan itu karena Ia mencintai kita supaya dengan cinta-Nya kita mampu untuk mencintai sesama (1 Yoh 4:7-21). Ia ingin kita meniru dia dan belajar padaNya (Mat 11:29-30), Ia ingin kita juga mencintai sesama kita bahkan berdoa bagi orang yang menganiyaya kita. Bahkan jika kita datang kepadaNya tapi ada kebencian di hati, kita diminta untuk mengampuni dahulu (Markus 11:25). Adakah hari ini seseorang yang harus kita ampuni? Jika ada mari kita meringankan hati untuk melakukannya.


Apakah Pengampunan itu?

Pengampunan sering disalahartikan sebagai melupakan kesalahan seseorang. Padahal tidaklah demikian.

Berdasarkan apa yang Tuhan ajarkan kepada murid dan tentunya juga kepada kita hari ini, untuk meminta pengampunan kepada Bapa dan untuk mengampuni juga kesalahan orang lain. Seperti tertuang dalam Kitab Matius 6:12.


Kata ‘ampunilah’ di sini menggunakan kata yunani apes yang berasal dari kata dasar apiemi[1]– arti: forgive yang berarti to let go, to release, to let be (membebaskan, membiarkan). Dalam pengertian yang luas berarti membebaskan seseorang dari hutang atau hukuman.[2] Rasanya memang tidak mungkin kita membebaskan seseorang dari hukuman yang harus diterimanya setelah ia melakukan hal yang nista atau menyakitkan kita. Ada suatu ketidak-relaan melihat orang lain hidup dengan bebasnya tanpa merasa bersalah dan kita harus mengampuninya. Justru di sinilah letak pentingnya pengampunan itu. Pengampunan bukanlah membebaskan orang lain tapi membebaskan diri kita sendiri yang terpenjara oleh perasaan marah, dendam, benci, dengki, dan sebagainya. Karena ketidak-relaan inilah banyak orang enggan mengampuni. Mereka lebih suka berada di penjara yang mereka buat sendiri dan tidak dapat datang kepada Bapa yang menunggunya, daripada membiarkan diri bebas dan dapat melangkah dengan ringan. Akhirnya, kita mengerti bahwa memberi pengampunan adalah suatu pilihan. Jika kita memilih untuk tidak mengampuni, pertanyaannya; “Sampai kapan?” Jika kita memilih untuk mengampuni maka kita perlu melakukan tiga tahapan di bawah ini.


Tahapan untuk bisa mengampuni


Pertama: Mengingat dosa atau kesalahan yang orang lain lakukan terhadap kita[3]

Pengampunan dealing dengan dosa. Pengampunan tidak menghapuskan dosa. Apa yang dilakukan seseorang pada kita, jika itu dosa, pengampunan tidak menghapuskannya. Pengampunan bukan menganggap itu tidak pernah terjadi. Tuhan juga tidak melupakan dosa kita (Ibr 10:17). Banyak orang yang berusaha melupakan dosa yang orang lain lakukan terhadap dia dengan membenamkan itu ke alam bawah sadarnya, membuat dirinya terlihat seperti hantu bermuka malaikat, karena perasaan-perasaan negatif itu masih ia rasakan sedangkan rasionya berusaha melupakan itu. Karena itu pertama kali yang perlu kita lakukan untuk mengampuni adalah dengan mengingat (remembering). Mengingat kembali peristiwa yang terjadi secara rinci dan melihat kembali bagaimana reaksi kita terhadap peristiwa tersebut. Mungkin kita dapat menuliskannya dalam secarik kertas dan menggaris bawahi setiap perasaan yang kita tulis di sana. Ketika kita melihat perasaan-perasaan yang ada, mungkin kita akan menyadari bahwa sesungguhnya perasaan yang kita rasakan bukan sekedar marah, mungkin ada perasaan malu, takut, jijik, perasaan terhina, direndahkan, dipersalahkan, tidak diterima atau tertolak, perasaan tersingkir atau tidak diutamakan, dan sebagainya. Akuilah itu di hadapan Allah di dalam doa dan mintalah pengampunan atas perasaan-perasaan negative yang ada.


Kedua: Menuliskan kembali peristiwa yang sesungguhnya terjadi.

Kita perlu menuliskan ulang (paraphrase) peristiwa di atas. Mengapa? Karena memori kita tidak sanggup menampung semua peristiwa secara lengkap. Memori kita hanya mengingat peristiwa-peristiwa yang disertai dengan emosi di dalamnya. Ada bagian-bagian hidup kita yang tidak ada di sana. Mungkin kita perlu mencari pecahan-pecahannya. Mungkin kita bisa bertanya pada orang tua atau orang terdekat atas apa yang sudah terjadi, mungkin ada keterangan yang tidak lengkap yang terlewat sehingga peristiwa itu tampak buruk dalam pandangan kita. Tapi jika kita tidak mau melakukannya, kita dapat menuliskan ulang dengan mengingat kembali kebaikan-kebaikan orang yang menyakiti kita. Mungkin dengan demikian kita dapat berempati dengan orang tersebut dan dapat merasakan kesulitan yang ia hadapi, yang membawa kita menjadi sasaran ketidak-mampuannya menghadapi realita hidup. Bukankah kita juga akan melakukan hal yang sama jika kita berada di pihaknya?

Dengan menuliskan ulang cerita yang sudah kita ingat, kita akan dapat melihat secara lebih utuh.


Ketiga: Menerima peristiwa itu sebagai suatu kenyataan hidup

Banyak orang tidak dapat melanjutkan hidupnya karena masih terus berputar-putar pada peristiwa yang lalu atau masa lampaunya. Oleh karenanya kita harus berani melangkah maju dan meninggalkan beban yang begitu merintangi, yakni beban karena tidak mengampuni. Jika kita merasa tidak mampu dan mulai putus asa, jangan menyerah! Kita tidak sendiri mengalami kesulitan ini. Kita punya Tuhan Yesus. Mari kita minta bantuanNya. Kita minta Tuhan memberi kita kekuatan untuk menerima peristiwa yang sudah terjadi atas diri kita itu sebagai bagian dari kehidupan yang tidak sempurna karena dosa, dimana kita juga tidak sempurna dan berdosa. Beri diri kita kesempatan untuk menarik nafas dalam-dalam sebagai bentuk keprihatinan kita atas kenyataan hidup ini. Akhirnya mari kita membiarkan Tuhan mengambil alih dan membereskan yang tersisa. Roh Kudus dengan segala kuasa-Nya akan bekerja di balik semua peristiwa.

Selamat paskah, selamat mengampuni!


(Penulis NETI ESTIN alumnus S.Th dari STT Bandung dan MA dari STTRII Jakarta)



[1]The Analitical Greek Lexicon, New York: Harper and Brothers, p.61

[2]Bultmann, TDNT I

[3]Gary Inrig, What is true forgiveness? RBC Minitries (2006): 14.

URGENT

Apa artinya?

Mungkin kita sering mendengar kata ini, dan karena terlalu sering mendengar kata ini, kita jadi menganggap urgent itu adalah hal yang biasa.


Beberapa waktu yang lalu, ada seorang karyawan yang mengalami kecelakaan kerja. Bagaimana penanganan pada waktu itu? Semua ditangani dengan segera. ada yang berteriak minta tolong, ada yang langsung mengambil tindakan menolong korban, ada yang menyiapkan motor untuk mengantar ke rumah sakit, ada yang menelpon meminta bantuan dan sebagainya. Setiba di rumah sakit, pertolongan terbaikpun langsung dilakukan. Perawat dan dokter di ruang UGD walaupun menjelang tengah malam tak lagi menghiraukan rasa lelah dan kantuk, mereka langsung berusaha menghentikan pendarahan dan memberikan obat-obatan sebagai pertolongan pertama untuk pasien.


Itu adalah situasi urgent yang telah berhasil ditangani bersama oleh team.

Dalam pekerjaan sehari-hari, kondisi urgent sering kita temui dalam hal delivery ke customer. Yang ingin saya tanyakan di sini adalah “Seberapa peduli kita akan hal itu”?


Jika memandang permintaan delivery yang urgent itu seperti kita memandang urgent kisah di atas, siapapun pasti akan menjadi rekan terbaik untuk partnernya. Tapi bila kita menganggap urgent adalah hal yang biasa, cepat atau lambat kita semua akan kehilangan pekerjaan. Ini adalah suatu hal yang sangat serius.


Siapa yang mau percaya kepada kita jika apa yang kita janjikan jarang ditepati?

Siapa yang mau memberikan kepercayaan jika kita bekerja setengah hati?

Siapa yang mau menghargai jika kita tidak peduli?




Cikarang, 15 Januari 2009

Hizkia Setiyanto