Minggu, 07 Oktober 2012

Renungan Bulan Keluarga 8-12 Oktober 2012


Allah Pencipta dan Pemelihara Keluarga

Pengantar

Kita percaya bahwa keluarga diciptakan atas inisiatif Allah sendiri. Ia mengatakan: ”Tidak baik kalau manusia itu seorang diri saja. Aku akan menjadikan penolong baginya, yang sepadan dengan dia...Sebab itu seorang laki-laki akan meninggalkan ayahnya dan ibunya dan bersatu dengan istrinya...” (Kej 2:18,24). Ia yang menyatukan laki-laki dan perempuan tentu Ia memiliki rencana di dalamnya. Sebagaimana rencana keselamatan yang telah direncanakan-Nya dari kekal sampai kekal dalam Yesus, pernikahan tentunya juga mempunyai maksud dan tujuan dalam kerangka keselamatan tersebut. Dengan memasukkan pernikahan dalam ’kerangka keselamatan’ Allah terhadap dunia ini, kita akan dapat lebih memahami tujuan pernikahan tersebut dengan lebih baik. 

Tujuan pernikahan Kristen tentu saja berbeda dengan pernikahan-pernikahan bukan Kristen. Mereka menikah seperti kebayakan orang, menikah lalu melahirkan anak, membesarkan anak, menjadi tua, dan mewariskan apa yang ada. Pernikahan Kristen bukan pernikahan seperti demikian. Pernikahan Kristen juga bukan hanya didasarkan oleh kebutuhan seksual dan pribadi yang ingin bertanggung jawab terhadap kebutuhannya tersebut, tetapi lebih daripada itu, Allah menginginkan kita mengalami kebahagiaan melalui pernikahan.

Kebahagiaan tersebut bukan hanya sebuah perasaan yang berorientasi pada diri sendiri, tapi pada kebenaran Allah. Kebenaran Allah ada dalam firman-Nya yakni dalam Mat 18:19-20 mengatakan; ”Dan lagi Aku berkata kepadamu: Jika dua orang dari padamu di dunia ini sepakat  meminta apapun juga, permintaan mereka itu akan dikabulkan  oleh Bapa-Ku yang di sorga. Sebab di mana dua atau tiga orang berkumpul dalam Nama-Ku, di situ Aku ada di tengah-tengah mereka.” Jika kita perhatikan ulang, perkumpulan apakah yang terdiri dari dua orang? Bukankah itu suami dan istri? Ataukah tiga orang? Bukankah itu suami istri dan anak? Jadi jelaslah bagi kita jika suami dan istri sepakat untuk berkumpul maka Allah ada di tengah-tengah mereka dan Allah akan mengabulkan permitaan mereka. Bukankah ini adalah suatu kebahagiaan di mana Allah hadir bersama dengan kita di tengah keluarga? Apakah yang kurang lagi jika Dia milik kita? Apakah ada lagi yang kita inginkan dan tidak kita miliki jika Bapa pemilik segalanya ada bersama dengan kita?
Paulus mengatakan: ”Jika Allah di pihak kita, siapakah yang akan melawan kita? Ia yang tidak menyayangkan Anak-Nya sendiri, tetapi yang menyerahkan-Nya bagi kita semua, bagaimanakah mungkin Ia tidak mengaruniakan segala sesuatu kepada kita bersama-sama dengan Dia?” (Rm 8:31-32).
Dan masih banyak lagi ayat-ayat yang menyatakan bagaimana Allah mengasihi kita dan ingin kita hidup di dalam kasih-Nya dan merasakan sukacita damai sejahtera karena pergaulan kita dengannya, khususnya dalam keluarga kita.

Sebagai manusia ciptaan-Nya, kita diminta untuk meresponi apa yang Allah telah sediakan. Dengan meresponi dan menyediakan tempat bagi Allah dalam hubungan kekeluargaan kita, kita pasti juga akan mengalami pertumbuhan dalam hidup seperti ranting pokok anggur yang berbuah banyak. Kita juga tidak boleh lupa bahwa itu bisa kita alami jika kita mau tinggal atau menempel pada pokok anggur yaitu Allah dalam hubungan pernikahan kita. Menempel di sini berarti bahwa kita harus selalu melakukan perintahNya seperti kasih dan ketundukan, kesepakatan dalam keluarga, dll. Karenanya persekutuan keluarga itu penting di adakan dimana masing-masing pribadi dalam keluarga menikmati hubungan bersama Allah dan juga mempererat ikatan diantara semua anggotanya. Seperti sebuah piramida yang berujung pada Allah, semua anggota keluarga bertujuan pada Allah. Semakin dekat setiap anggota keluarga dengan Allah, semakin dekat juga satu dengan yang lainnya. Selamat menikmati kasih Allah.



Senin, 8 Oktober 2012
Allah Pencipta Keluarga: Panggilan Allah
Matius 19:1-12

Suatu pagi ketika selesai memimpin doa pagi di suatu gereja, saya duduk di samping gereja untuk sedikit bersantai. Waktu itu saya belum menikah. Kebetulan di sana ada sebuah bangku kayu panjang yang diletakkan tepat menghadap ke jalanan. Karena gereja tersebut dekat dengan pasar, maka banyak orang yang lewat untuk pergi ke pasar. Tanpa sengaja saya memperhatikan orang-orang yang sedang lewat di depan saya. Dan anehnya mereka yang lewat selalu berpasangan pria dan wanita. Saya berpikir mereka pasti adalah suami istri karena sepagi ini sudah bersama-sama. Ada yang berjalan sambil bercengkrama dan sesekali saling berpandangan, ada yang berjalan bergandengan tangan, ada juga yang berjalan depan belakang, ada yang berjalan beriringan tapi tanpa bicara sepatah-kata pun hanya pandangan mereka saja yang sama; lurus ke depan. Tiba-tiba muncul dalam pikiran saya, ”kenapa mereka mau menikah?” Sambil terus memperhatikan setiap pasangan yang lewat. ”Apakah untuk selalu bersama?” Ada yang berpasangan dengan yang lebih tua, ada yang lebih gemuk dari pasangannya, ada yang lebih tinggi dari pasangannya, dan saya juga sering mendengar bahwa ada juga pasangan dimana pasangannya berasal dari keluarga yang lebih berada. ”Apakah untuk memperbaiki keadaan?” Ada suami yang membawakan keranjang belanjaan yang masih kosong dan pasangan yang lain si istri yang membawa keranjang. ”Apakah untuk mendapatkan pertolongan?”  Tapi saya tidak sempat melihat mereka kembali lewat jalan yang sama atau tidak karena saya harus segera pergi dan melanjutkan aktifitas. Sepanjang perjalanan, saya masih berfikir tentang orang-orang tadi, ”Kok bisa ya yang lewat tadi semuanya berpasangan? Apa memang harus begitu?”

Dalam Kej 2 diceritakan bahwa Allah sendiri yang merancangkan bahwa setiap laki-laki memiliki wanitanya sendiri. Hal ini tentu saja sudah menjadi natur (alamiah) bagi manusia untuk memiliki pasangannya masing-masing. Kitab Amsal juga memperlihatkan suatu hukum alam yang sama dimana jalan seorang laki-laki adalah didampingi seorang gadis (Amsal 30:19). Jadi ada suatu kebutuhan yang tidak dapat dielakkan bahwa seorang laki-laki harus berpasangan dengan seorang wanita.

Lebih dalam lagi, Tuhan Yesus, dalam bagian Alkitab yang kita baca, menegaskan bahwa ada peran Allah dalam kesatuan laki-laki dan perempuan. Ini memperlihatkan bahwa laki-laki dan perempuan diciptakan untuk dipersatukan. Dimana kesatuan ini pertama-tama terjadi karena Allah ada di dalamnya. Allahlah yang merancangkannya dan yang merestuinya (dengan mengantarkan seorang wanita bagi Adam), sehingga apa yang dipersatukan Allah tidak dapat dipisahkan oleh manusia. Mat 18:19 juga mengatakan bahwa Allah akan mengabulkan permintaan dua orang yang ’sepakat’ meminta kepada-Nya. Selain itu Ef 5 juga mengatakan bahwa kasih suami terhadap istrinya mencerminkan kasih Kristus yang memberikan diri-Nya sendiri untuk mati bagi jemaat (yang dikasihi-Nya). Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa pernikahan adalah suatu hubungan yang spesial dimana hubungan itu mencerminkan pribadi Allah sendiri dan suatu wadah potensial untuk Allah bekerja dan memperlihatkan kuasa-Nya.
Akhirnya menikah bukanlah hanya seputar kebutuhan yang memang ’dari sono’-nya saja melainkan adalah suatu panggilan dari Allah Sang Pencipta.

Doa:     -Bersyukur untuk pasangan yang Tuhan berikan
            -Berdoa untuk calon pasangan hidup anak-anak kita (berapa pun usia mereka), supaya Tuhan
 pertemukan dengan pasangan yang terbaik dan mereka Tuhan pertemukan di waktu yang tepat.

Kita masing-masing adalah malaikat yang hanya memiliki satu sayap. Dan kita hanya dapat terbang dengan saling berpelukan satu sama lain.                                                                                                                           –Luciano de Crescenzo

Selasa, 9 Oktober 2012
Allah Pemelihara Keluarga: Janji Allah
MZM 92

Sebenarnya banyak orang yang belum menikah penasaran apa yang akan terjadi di kehidupan pernikahan. Suatu hari seorang pendeta berkata dengan wajah serius pada anak-anak di komisi pemuda gerejanya; ”Kalian tahu tidak, menikah itu susah. Susahnya 5%!” lalu ada yang nyeletuk dengan penasaran; ”Selebihnya yang 95% itu apa susah banget Pak?” Pendeta itu menjawab; ”95% nya...(berhenti sejenak kemudian tersenyum)...uenak banget!” Lalu semua tertawa, termasuk saya.

Gambaran pernikahan yang tidak ideal kadang mengaburkan kebaikan dari pernikahan itu sendiri. Apa yang kita alami di masa kecil dengan pernikahan orang tua kita, dan gambaran yang diberikan masyarakat melalui media, membuat kita berpikir bahwa menikah itu seringkali begitu buruk. Dan ini membuat kita sebagai anak-anak dari orang tua kita, menjadi enggan untuk menikah.
Ada beberapa di antara mereka sangat berhati-hati untuk jatuh cinta, ada yang memutuskan untuk tidak menikah, dan ada juga yang karena terlanjur jatuh cinta berpikir, ”mau gimana lagi jalani aja?”
Akhirnya banyak pernikahan hanya sebagai suatu keharusan umum yang perlu dilaksanakan tanpa ada niat untuk benar-benar berbahagia di dalam pernikahan nantinya.

Sesungguhnya, pernikahan itu tidak terlalu semenyeramkan yang kita pikirkan. Jika kita berusaha untuk selalu melakukan apa yang ’BENAR’(sesuai firman Tuhan), pernikahan kita juga akan bertunas dan tumbuh subur bahkan pada masa tua pun pernikahan kita masih menghasilkan kebahagiaan. Karena sesungguhnya sebagai orang benar, Allahlah yang melakukan segala sesuatu bagi kita. Ia berjanji untuk menyertai kita. Ia berkata: ”Janganlah takut, sebab Aku menyertai engkau, janganlah bimbang, sebab Aku ini Allahmu; Aku akan meneguhkan, bahkan akan menolong engkau; Aku akan memegang engkau dengan tangan kanan-Ku yang membawa kemenangan.” Dan Ia yang menjanjikannya itu setia (Ibr 10:23).

Kalau kita berdiri di pinggir laut, kita dapat melihat garis lurus yang seolah-olah membentang di kaki langit. Itulah garis cakrawala. Andaikata kita sekarang naik kapal dan pergi ke tempat cakrawala berada, maka kita akan melihat bahwa di tempat kita berdiri tadi di daratan, ada garis membentang juga yang disebut cakrawala. Jelaslah bahwa cakrawala ada jauh di kaki langit sana, tetapi cakrawala itu pun ada di dekat kita. Demikianpun Allah, Ia ada dimana pun kita berada. Ia mendampingi kita.

Doa: Untuk pernikahan kita dan untuk pernikahan anak-anak kita (sudah atau belum menikah).
                                                                                             
                                                                                                         

Kabar baiknya adalah...bahwa kabar buruk dapat diubah menjadi kabar baik...bila Anda mengubah sikap Anda!
                                                                                                                                                                           –Robert H. Schuller




Rabu, 10 Oktober 2012
Allah Pemelihara Keluarga & Tanggung Jawab Manusia
Kel 17 : 1-7

Berkeluarga juga memerlukan biaya dari mulai menikah sampai kematian menjemput kita. Untuk itu kita yang berkeluarga dituntut bertanggung jawab dalam memenuhi biaya-biaya ini. Kita perlu bekerja untuk membayar biaya-biaya keluarga kita. Kita tidak bisa hanya mengatakan; ”Tenang saja pasti Tuhan cukupkan!”. Ini seperti orang yang butuh makan bubur berharap ada semangkok bubur hangat di depan mata, tapi tidak melakukan apa-apa untuk mendapatkannya. Paling tidak kita mengatakannya pada istri atau suami kita, bahwa kita butuh makan bubur. Sehingga ada orang lain yang mengusahakan jika memang kita sedang terbaring lemah karena sakit.

Sehubungan dengan bekerja ada ungkapan bahasa latin; Ora et Labora (yang biasanya ada di sampul depan Alkitab atau sengaja ditempelkan orang). Kata ini berarti; berdoalah dan bekerja. Sebenarnya ada ungkapan bahasa latin yang lain yang jarang digunakan yang seharusnya bisa diletakkan sebelum kata ora et labora, yakni: kata Orare Labora est. Kata ini berarti; berdoa adalah kerja/usaha. Dari kata ini kita mengerti bahwa sebenarnya dengan berdoa kita telah melakukan pekerjaan. Dengan kata lain, berdoa haruslah pertama-tama yang kita lakukan sebelum kita melakukan sesuatu.

Dari bacaan kita kali ini kita bisa melihat bagaimana Bangsa Israel menanggapi kebutuhannya. Bangsa Israel tidak melakukan apa-apa untuk kebutuhannya akan air. Mereka hanya menggerutu dan mengeluh bahkan bertengkar dengan Musa. Tapi Musa dengan segala kemampuan dan keterbatasannya sebagai pemimpin bangsa Israel, berusaha pertama-tama adalah berdoa. Ketika ada hal yang dibutuhkan, Ia berbicara dengan Allah. Dan Tuhan mengabulkan permintaanya dengan menyuruhnya untuk ’memukul batu’. Pekerjaan yang sepele dan terlihat tidak ’hebat’ (spektakuler) sama sekali, tapi memperlihatkan kehebatan Allah yang luar biasa. Dan ini sering sekali terjadi dalam pergumulan Musa bersama Tuhan ketika memimpin Bangsa Israel keluar dari Mesir.

Barangkali berdoa adalah suatu yang tidak lumrah bagi manusia yang memiliki kekuasaan dan uang. Mereka berpikir bahwa mereka bisa melakukan segalanya karena mereka bisa menggunakan kekuasaan dan uangnya untuk membayar orang untuk melakukan sesuatu baginya. Mereka juga menggangap semua keberhasilan adalah hasil usaha sendiri. Sebaliknya, orang yang tidak memiliki kekuasaan dan uang barangkali seringnya hanya mengeluh bahkan bertengkar dengan anggota keluarganya jika mengalami kekurangan. Suami dan istri bertengkar mengenai siapa yang harus bertanggung jawab, dan anak-anak bertengkar dengan orang tua karena orang tua tidak memenuhi kebutuhan mereka tanpa tahu apa yang sebenarnya terjadi dalam keuangan keluarga mereka. Orang benar tidak demikian. Kita dituntut untuk meletakkan Tuhan di atas segalanya. Dengan berdoa, kita tidak hanya memberitahukan pada Tuhan apa yang kita butuhkan, meminta Ia menyertai kita supaya berhasil, tapi juga menyatakan bahwa kita merelakan Allah bekerja bagi kita. Dengan berdoa, seandainya pun kita mengalami kegagalan, kita percaya Tuhan sedang menyiapkan suatu jalan yang lain, yang Ia ingin kita jalani. Pada saatnya nanti Ia akan menuntun kita ke sana. Jadi kita tidak boleh seperti bangsa Israel. Janganlah putus asa dalam pekerjaan kita saat ini. Karena jika kita bekerja dengan sungguh-sungguh seperti untuk Tuhan dan bukan untuk manusia, Tuhan dan manusia (pemimpin) akan ’melihat’ bahwa kita layak untuk mendapatkan jabatan yang lebih tinggi, karena memberikan hasil pekerjaan yang lebih baik.

Doa: Untuk ekonomi keluarga dan usaha atau pekerjaan yang sedang kita lakukan.


Aku tak berdaya,
 tetapi
Engkau,
Tuhan,
dapat melakukan segala sesuatu
Sehingga hanya karena Engkau
 aku sanggup melakukan segala sesuatu.
Karena Engkau menguatkan aku.
                                                         -Ibu Basilea Schlink


Kamis, 11 Oktober 2012
Allah Pemelihara Keluarga: Rasa Cukup
Ibr 13:5-17

Apa yang dimaksud ’cukup’?
Suami saya pernah mengatakan joke; ”Ya kalau mau belanja...cukup!, untuk bayar sekolah anak...cukup!, mau jalan-jalan...cukup! Mau ke luar negeri juga...cukup!” Saya tertawa tapi dalam hati saya berpikir ’iya ada benernya tapi apa begitu yang dimaksud firman Tuhan?’.

Ibr 13:5a mengungkapkan: ”Janganlah kamu menjadi hamba uang dan cukupkanlah dirimu dengan apa yang ada padamu”. Arti kata ’cukup’ di sini (sesuai bahasa aslinya arkoumenoi) adalah: merasa penuh/tidak ada yang kurang (contentment). Rupanya perasaan inilah yang memotivasi seseorang untuk tidak menjadi hamba uang. Hamba uang merupakan suatu keinginan untuk memberikan yang terbaik demi uang, melakukan segala sesuatu demi uang (cinta uang) dan akhirnya uang menjadi tuan yang mengendalikan hidup orang tersebut. Bahkan uang mampu mengambil waktu-waktu hidup yang kita miliki dengan terus bekerja tanpa memikirkan hal lainnya. Dengan merasa penuh/tidak ada yang kurang, kita akan memiliki kemampuan untuk mengendalikan diri sendiri. Kita dapat mengatur apa yang perlu dan yang tidak perlu dimiliki atau dilakukan. Dan kita juga akan memiliki banyak waktu luang untuk bersyukur dan berbahagia, tanpa merasa kuatir akan menyia-nyiakan waktu.    

Waktu kuliah dulu, kalau sedang tidak ada yang dilakukan, saya sering memandang keluar jendela kamar saya di lantai 3 dan melihat apa yang bisa di lihat di halaman belakang asrama kampus. Suatu sore, ketika saya sedang merasa bosan tinggal di asrama, saya mengulangi kebiasaan ini dan saya belajar satu hal tentang bersyukur. Kebetulan saya melihat bapak pengangkut sampah asrama kami lewat di depan pintu gerbang belakang asrama. Rupanya kali ini dia tidak sendirian, ia membawa serta anaknya laki-laki yang masih kecil dan didudukan di dalam gerobak sampah. Sambil mengangkuti sampah ke dalam gerobak sesekali bapak ini bicara dengan anaknya. Sembari bercengkrama, mereka kadang tertawa. Melihat mereka tertawa, saya jadi tersenyum. Betapa saya tidak bersyukur dengan tinggal di asrama ini dimana semuanya sudah tersedia, saya masih merasa bosan dan tidak bahagia. Saya malu dengan mereka yang hidup apa adanya tapi masih bisa tertawa. Ah rupanya bersyukur bukan sesuatu yang berat jika yang kita lihat adalah kebaikan.

Tuhan itu baik. Jika kita renungkan lebih dalam tentang apa yang Tuhan perbuat dalam hidup kita, apakah yang begitu menyusahkan kita? Lihatlah kebaikan dari setiap peristiwa, maka beban-beban hidup kita akan terlepas dan kita akan merasa bebas. Tuhan berkata: "Aku sekali-kali tidak akan membiarkan engkau dan Aku sekali-kali tidak akan meninggalkan engkau" (ayat 5b). Sambil tersenyum, kita dapat berkata: “Terima kasih Tuhan!”


  
"Syukur adalah vaksin (untuk kekebalan tubuh), antitoksin (untuk menetralisir racun), dan antiseptik (untuk mencegah infeksi)."
                                                                                                                                                            - John Henry Jowett


Jumat, 12 Oktober
Seni Merayakan Hidup
Lukas 16:19-31

Permulaan yang hebat tidak sepenting cara seseorang menyelesaikannya. Hidup juga harus dilihat bukan depannya, tengah, tapi akhirnya. Seperti menulis sebuah obituari (pemberitahuan kematian disertai riwayat singkat), setiap orang akan dikenang pada saat akhir hidupnya. Ada hal-hal penting yang akan diingat orang ketika kita tidak ada lagi di dunia ini. Tanpa memperhatikan hal ini, kita akan mengorientasikan pandangan hidup kita kepada hal-hal sementara dan pemuasan nafsu belaka. Memang hidup kita adalah pilihan kita sendiri, tidak ada seorang pun yang bisa memaksa kita bagaimana kita harus menjalani hidup ini. Namun pada saatnya nanti ketika kita di hadapkan pada pengadilan Allah, kita semua harus memberikan pertanggungan jawab. Jangan sampai ada penyesalan di sana.

Kehidupan orang kaya itu dihabiskan dengan gaya hidup yang berpusat pada diri sendiri. Ia membuat pilihan yang salah dan menderita selama-lamanya (Luk 16:22-23). Seumur hidupnya Lazarus hidup dalam kemiskinan, namun hatinya benar di hadapan Allah. Nama Lazarus berarti "Allah adalah pertolonganku", dan ia tidak pernah melepaskan imannya kepada Allah. Ia mati dan segera diangkat ke Firdaus bersama Abraham (Luk 16:22; lih. Luk 23:43Kis 7:592Kor 5:8Fili 1:23). Akhir riwayat kedua orang itu tidak dapat diubah lagi pada saat kematian (Luk 16:24-26).

Berikut adalah contoh beberapa hidup orang yang berhasil menurut pandangan dunia, tapi akhir hidupnya menyedihkan.
Pada tahun 1923, suatu pertemuan penting diadakan di Hotel Pantai Edgewater di Chicago, Amerika. Yang hadir adalah delapan orang raksasa dalam bidang keuangan yang terkuat di dunia. Antara lain:


1. Presiden dari perusahaan baja terbesar
2. Presiden dari perusahaan gas terbesar
3. Spekulan gandum terbesar
4. Presiden dari Bursa Saham New York
5. Anggota kabinet presiden Amerika
6. “Beruang” terbesar di Wall Street
7. Kepala dari monopoli terbesar di dunia
8. Presiden dari Bank of International Settlements.

Pada akhir hidup mereka:
1. Presiden dari perusahaan independen terbesar, Charles Schwab, mati dalam keadaan bangkrut, setelah hidup dengan hutang selama lima tahun terakhir sebelum kematiannya.
2. Presiden dari perusahaan gas terbesar, Howard Hopson, menjadi gila.
3. Spekulan gandum terbesar, Arthur Cotton, meninggal di luar negeri, dalam keadaan bangkrut
4. Presiden dari bursa Saham New York, Richard Whitney, masuk ke penjara Sing-sing
5. Anggota kabinet presiden, Albert Fall, dibebaskan dari penjara agar ia bisa mati di rumah.
6. “Beruang” terbesar di Wall Street, Jesse Livermore,
mati bunuh diri.
7. Kepala monopoli terbesar, Ivan Krueger, mati bunuh    
diri.
8. Presiden dari Bank Penyelesaian-penyelesaian
Internasional, Leon Fraser, mati bunuh diri.



Seni merayakan hidup adalah cara kita menggambar hidup di dunia ini, titik demi titik, tiap hari tiap detik, dengan mengikuti irama Allah yang berpusat pada kekekalan. Apa yang terjadi dalam hidup kita sekarang ini, suka maupun duka, di setiap musim kehidupan yang berbeda, kita percaya bahwa Allah senantiasa ada dan menolong kita sampai akhir. Dan pada saatnya nanti ketika kita tidak ada lagi di dunia ini, kita bisa melihat bagaimana akhir dari gambar yang kita buat dan Allah dapat berkata: "Mereka boleh beristirahat dari jerih lelah mereka, karena segala perbuatan mereka menyertai mereka" (Why 14:13).
Gambar dari banyak titik,
membentuk satu gambar wajah
Seni Hidup
Tidak ada manusia di dunia
Yang mendapatkan segala yang dikehendakinya
Mau tidak mau setiap manusia
Harus memanfaatkan keadaan yang ada sebaik-baiknya
Maka setiap orang memiliki suka duka
Seni hidup adalah mencampur tawa dan air mata

-Robert Louis Stevenson



Tidak ada komentar:

Posting Komentar